REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Khairil Miswar (Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh)
Hari
raya Idul Fitri yang jatuh pada 17 Juli 2015 (1 Syawal 1436 H)
dirayakan serentak oleh mayoritas muslim di Indonesia dari Sabang sampai
Marauke. Namun sayangnya, kesyahduan Idul Fitri tahun ini telah terusik
akibat tindakan anarkis-radikal oleh pihak-pihak yang tidak paham atau
bahkan anti toleransi.
Minoritas muslim di Kabupaten Tolikara
telah ditindas secara brutal oleh sekelompok anak bangsa yang menyebut
diri sebagai Gereja Injili di Indonesia (GIDI). Bagi para pelaku, atau
pun pihak-pihak lain yang pro pada tindakan “barbarian” ini tentu akan
tersenyum lebar. Seakan mereka tersenyum karena berhasil membuat umat
Islam kocar-kacir dan shock.
Namun bagi umat Islam, tidak hanya di
Tolikara, tetapi di seluruh penjuru negeri, akan menganggap tindakan
primitif tersebut sebagai sebuah tragedi yang telah melukai kaum
muslimin. Tragisnya lagi, aksi yang jauh dari nilai-nilai peradaban
modern tersebut terjadi pada hari suci dan bahkan sakral.
Kemajuan
teknologi komunikasi dan informasi telah berhasil membuat berita yang
sedianya hanya diketahui oleh beberapa orang tersebut tersebar luas bak
virus. Ia sudah menjadi konsumsi publik, hanya dalam hitungan detik.
Jika
tragedi ini terjadi di masa lalu, bukan tidak mungkin ia akan tenggelam
dalam pusaran masa akibat mandulnya media-media mainstream yang
dikekang oleh rezim otoriter – atau pun disebabkan oleh kehendak mereka
sendiri (media) yang memilih berkonspirasi dengan penguasa.
Alhamdulillah, kemajuan teknologi saat ini telah berhasil mencerdaskan
keawaman publik yang dulunya miskin informasi. Tidak ada lagi yang bisa
ditutupi di zaman ini, di mana arus informasi mengalir deras menyisir
lorong-lorong sepi di seluruh penjuru negeri.
Dari Surat sampai Speaker
Pascakejadian di Tolikara, media berlomba-lomba menyajikan berita yang
kemudian ditanggapi secara beragam oleh publik. Konon, sebelum tragedi
itu terjadi, Gereja Injili di Indonesia (GIDI) pernah mengeluarkan surat
tentang pelarangan shalat Ied dan juga pelarangan kaum muslimah memakai
jlbab di Kabupaten Tolikara.
Jika surat ini benar adanya maka
tindakan GIDI telah mendobrak konstitusi RI. Di dalam UUD 1945 sudah
jelas tertulis kebebasan beragama dan menjalankan ibadah telah diatur
dan harus ditaati oleh setiap anak negeri. Jangan sampai hanya karena
ingin mempertahankan hegemoni mayoritas lantas mencabik-cabik
konstitusi.
Aceh sebagai provinsi yang dihuni oleh mayoritas
muslim dan bahkan telah mendapat izin dari UU untuk melaksakan syariat
Islam secara kaffah justru sangat menghargai keberadaan pemeluk-pemeluk
agama lain seperti Kristen dan Budha. Saya menyarankan kepada pihak GIDI
untuk sesekali “piknik” ke Aceh agar bisa melihat bagaimana kaum
muslimin di Aceh menghargai dan memperlakukan non muslim secara
terhormat.
Kabar lainnya menyebut bahwa aksi pembakaran masjid di
Tolikara disebabkan oleh suara speaker. Saya melihat ini sebagai sebuah
sikap apologis yang cenderung tidak rasional dan terlalu dipaksakan guna
melakukan justifikasi terhadap ektrimisme. Yang penting dilakukan saat
ini bukanlah mencari kambing hitam, tetapi penegakan hukum dengan
menangkap para pelaku.
No comments:
Post a Comment