Saturday, April 16, 2016

Hendaknya Imam Shalat Membaca Basmalah

Sumber: http://www.madinatuliman.com/3/3/360-hendaknya-imam-lebih-baik-membaca-basmalah.html

Hendaknya Imam Shalat Membaca Basmalah


Seperti yang masyhur kita ketahui, membaca Surat Al Fatihah merupakan salah satu rukun dalam shalat. Surat Al Fatihah adalah surat yang agung sehingga diwajibkan untuk dibaca pada tiap raka’at shalat. Demikian menurut para Imam Mazhab, kecuali Mazhab Imam Abu Hanifah sebagaimana disebutkan dalam kitab Fiqh Islami wa Adilatuhu karya Syekh Wahbah Az Zuhaily, bahwa dalam Mazhab Imam Abu Hanifah hukumnya makruh tahrim jika tidak membaca Al Fatihah namun tidak sampai membatalkan shalat.
 
لا تجوز الزيادة بخبر الواحد الظني على ما ثبتت فرضيته بالدليل القطعي في القرآن، ولكن خبر الواحد يوجب العمل به، لا فرضيته، فقالوا بوجوب قراءة الفاتحة فقط، أي أن الصلاة تصح بتركها مع الكراهة التحريمية
"Tidak diperbolehkan menambah dengan hadits ahad secara dzonni (prasangka) atas apa-apa yang telah disebutkan kefardhuannya dengan dalil yang qoth’i (pasti) di dalam Al Quran. Akan tetapi hadits ahad wajib diamalkan, bukan fardhu. Para ulama Mazhab Hanafi berkata atas kewajiban membaca Al Fatihah saja, maksudnya hukum shalat adalah sah dengan meninggalkan (membaca) Al Fatihah secara makruh tahrim (makruh yang mendekati haram). (Fiqh Islami wa Adillatuhu II/32).
 
Saya tidak akan membahas secara panjang lebar perihal khilaf ulama’ mengenai hukum membaca Al Fatihah dalam shalat karena saya rasa hampir tidak ada orang shalat tanpa membaca Al Fatihah. Di sini saya akan berfokus pada bacaan Basmalah karena hal ini sering membingungkan teman-teman saya yang belum mengetahui status dan hukum Basmalah.
 
Beberapa minggu yang lalu saya menerima sms dari teman saya, sebut saja namanya Beni Setyawan (bukan nama samaran) yang isinya menanyakan apakah Basmalah merupakan bagian dari Al Fatihah atau bukan. Kemudian saya membalasnya bahwa Basmalah merupakan bagian dari Al Fatihah. Karena pada waktu itu sedang sibuk, maka saya tidak sempat menjelaskan secara lebih detil. Mungkin teman-teman saya yang lain juga banyak yang bertanya-tanya tentang hal ini, karena ketika berjama’ah sebagian Imam membaca Basmalah secara jahr (keras), ada yang membaca secara sirr (samar), dan ada juga yang tidak membacanya.
 
Baiklah, agar menjadi netral, di sini saya akan mencoba memaparkan status Basmalah dan hukum membacanya ketika shalat menurut para Imam empat mazhab sejauh pengetahuan dan kapasitas saya yang masih belajar fiqh kelas ibtida’ (dasar) dan Al Quran yang masih “Turutan”. Jika Pembaca bertanya menurut saya yang benar yang mana, saya hanya bisa menjawab kesemuanya benar berdasarkan metode istinbath (penggalian hukum) masing-masing, akan tetapi saya pribadi mengamalkan pendapat Imam Syafi’i.
 
Basmalah menurut Mazhab Hanafi (Imam Abu Hanifah)
 
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa Basmalah bukan merupakan bagian dari Al Fatihah. Adapun membaca Basmalah pada Al Fatihah ketika shalat hukumnya sunnah dan dibaca secara sirr (samar).
 
ليست البسملة آية من الفاتحة ولا من غيرها من السور إلا من سورة النمل في أثنائها ، لحديث أنس رضي الله تعالى عنه قال: «صليت مع رسول الله صلّى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر وعثمان رضي ا لله عنهم، فلم أسمع أحداً منهم يقرأ بسم ا لله الرحمن الرحيم». لكن يقرأ المنفرد بسم الله الرحمن الرحيم مع الفاتحة في كل ركعة سراً، كما أنه يسر بالتأمين، فالتسمية والتأمين يسر بهما القارئ. أما الإمام فلا يقرأ البسملة ولا يسر بها لئلا يقع السر بين جهرين، قال ابن مسعود: «أربع يخفيهن الإمام: التعوذ، والتسمية، والتأمين، والتحميد»
"Basmalah bukanlah ayat dari Al Fatihah dan bukan pula ayat dari surat-surat yang lain kecuali di tengah-tengah surat An-Naml. Berdasarkan hadits dari Sayyidina Anas -radhiyAllahu ‘anhu-: “Saya shalat bersama Rasulullah -shallAllahu ‘alayh wa aalih wa sallam-, Abu Bakar, Umar, dan Utsman -radhiyAllahu ‘anhum-, maka aku tidak mendengar satu pun dari mereka membaca Bismillahirrahmanirrahim” (HR Muslim dan Ahmad). Akan tetapi orang yang shalat munfarid (sendiri) membaca Bismillahirrahmanirrahim pada Al Fatihah di setiap rakaat secara samar, sebagaimana menyamarkan pula pada Ta’min (membaca ‘aaamiiin’), maka pembaca membaca Basmalah dan Ta’min secara samar. Adapun Imam maka tidak membaca Basmalah dan tidak menyamarkan bacaannya supaya tidak menyamarkan di antara dua jahr. Ibnu Mas’ud berkata: “Empat hal yang Imam meringankan bacaannya: ta’awudz, tasmiyah (Basmalah), ta’min, dan tahmid (bacaan: Robbana lakal hamdu)”  (Fiqh Islami wa Adillatuhu II/22).
 
فكان أبو حنيفة وأصحابه يقولون بقراءتها فى الصلاة سرا، لا يرون الجهر بها لامام ولا لمنفرد، بعد الاستفادة وقبل فاتحة الكتاب تبركا بها فى الركعة الأولى كالتعوذ، باتفاق الروايات عن أبى حنيفة، وذلك مسنون فى المشهور عند أهل المذهب.
"Adapun Imam Abu Hanifah dan para ulama’ mazhabnya berkata tentang membaca Basmalah di dalam shalat secara samar. Mereka tidak meriwayatkan membaca Basmalah secara keras bagi Imam maupun bagi orang yang shalat sendirian. (Basmalah dibaca) setelah istifadah dan sebelum Al Fatihah untuk mencari berkah dengannya di dalam rakaat pertama seperti halnya ta’awudz menurut kesepakatan riwayat-riwayat dari Imam Abu Hanifah. Membaca Basmalah disunnahkan menurut pendapat yang masyhur di kalangan ulama’ mazhab Hanafi. (Al-Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami I/17).
 
 
Basmalah menurut Mazhab Maliki (Imam Malik bin Anas)
 
Menurut Mazhab Maliki, Basmalah bukan ayat dari Al Fatihah dan tidak disunnahkan membacanya di dalam shalat baik keras maupun samar. Adapun membacanya maka hukumnya makruh.
 
وليست البسملة عند المالكية آية من الفاتحة، فلا يقرؤها في الصلاة المكتوبة، جهراً كانت أو سراً، لا في الفاتحة، ولا في غيرها من السور.
"Dan menurut Mazhab Maliki, Basmalah bukan ayat dari Al Fatihah. Maka tidak dibaca pada shalat maktubah (shalat lima waktu) baik keras maupun samar, tidak pula dibaca pada Al Fatihah dan pada surat-surat lain". (Fiqh Islami wa Adillatuhu II/30).
 
المالكية قالوا : يكره الإتيان بالتسمية في الصلاة المفروضة سواء كانت سرية أو جهرية الا إذا نوى المصلي الخروج من الخلاف فيكون الإتيان بها أول الفاتحة سرا مندوبا والجهر بها مكروه في هذه الحالة أما في صلاة النافلة فإنه يجوز للمصلي أن يأتي بالتسمية عند قراءة الفاتحة
"Ulama’ Mazhab Maliki berkata: Makruh hukumnya membaca Basmalah di dalam shalat fardhu baik dibaca secara keras maupun samar, kecuali jika si mushalli (orang yang shalat) berniat untuk keluar dari khilaf (perbedaan pendapat) ulama’, maka dia membaca Basmalah di awal surat Al Fatihah secara samar yang hukumnya sunnah, atau dibaca keras yang hukumnya makruh pada tingkah ini. Adapun pada shalat sunnah maka boleh bagi mushalli untuk membaca Basmalah ketika membaca Al Fatihah". (Fiqh ‘ala Madzahib Arba’ah I/301).
 
 
Basmalah menurut Mazhab Syafi’i (Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i)
 
Menurut Mazhab Syafi’i, Basmalah merupakan bagian dari ayat surat Al Fatihah sehingga wajib dibaca ketika shalat. Dan dibaca dengan keras ketika menjadi Imam shalat berjama’ah.
 
والبسملة عند الشافعية آية من الفاتحة، لما رواه البخاري في تاريخه أنه صلّى الله عليه وسلم عدّ الفاتحة سبع آيات، وعدّ: بسم ا لله الرحمن الرحيم آية منها. وروى الدارقطني عن أبي هريرة أنه صلّى الله عليه وسلم قال: «إذا قرأتم الحمد لله ، فاقرؤوا بسم ا لله الرحمن الرحيم، إنها أم القرآن، وأم الكتاب، والسبع المثاني، وبسم ا لله الرحمن الرحيم إحدى آياتها» (1) ، ولأن الصحابة رضي ا لله عنهم أثبتوها فيما جمعوا من القرآن، فيدل على أنها آية منها.
 
"Adapun menurut Mazhab Syafi’i, Basmalah merupakan ayat dari Al Fatihah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab Tarikh-nya bahwa sesungguhnya Rasulullah -shallAllahu ‘alaih wa aalih wa sallam- menghitung Al Fatihah sebanyak tujuh ayat dan menghitung ‘Bismillahirrahmanirrahim’ sebagai salah satu ayat daripadanya. Dan diriwayatkan oleh Imam Ad-Daruquthni dari Abi Hurairah bahwa sesungguhnya Rasulullah -shallAllahu ‘alaih wa aalih wa sallam- bersabda: “Jika kalian membaca ‘Alhamdulillah’, maka bacalah ‘Bismillahirrahmanirrahim’. Sesungghnya itu adalah Ummul Quran, Ummul Kitab, dan Sab’ul Matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang). Dan ‘Bismillahirrahmanirrahim’ salah satu ayat daripadanya”. (1) Dan karena sesungguhnya para sahabat -radhiyAllahu ‘anhum- menetapkan ‘Bismillahirrahmanirrahim’ ke dalam pengumpulan Al Quran, maka hal itu menunjukkan bahwa sesungguhnya ‘Bismillahirrahmanirrahim’ adalah ayat daripadanya.”
 
(1) وهناك أحاديث أخرى في موضوع البسملة، منها ما رواه البخاري ومسلم وابن خزيمة بإسناد صحيح عن أم سلمة. وهذا الحديث رواه الدارقطني وصوب وقفه (سبل السلام:173/1)
(1) Dan terdapat hadits lain yang membahas Basmalah. Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Imam Muslim, dan Imam Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang shahih dari Ummi Salamah. Adapun hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ad-Daruquthni (Subulus Salam 1/173). (Fiqh Islami wa Adillatuhu II/26).
 
أخبرنا أبو طاهر نا أبو بكر نا محمد بن إسحاق الصنعاني أخبرنا خالد بن خداش نا عمرو بن هارون عن ابن جريج عن بن أبي مليكة عن أم سلمة : أن النبي صلى الله عليه و سلم قرأ في الصلاة بسم الله الرحمن الرحيم فعدها آية والحمد لله رب العالمين آيتين وإياك نستعين وجمع خمس أصابعه
"Menceritakan kepadaku Abu Thahir, menceritakan kepadaku Abu Bakar, menceritakan kepadaku Muhammad bin Ishaq As-Shan’ani, menceritakan kepadaku Khalid bin Khadasy, menceritakan kepadaku ‘Amr bin Harun, dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Abi Mulikah, dari Ummi Salamah: “Sesungguhnya Nabi -shallAllahu ‘alaih wa aalih wa sallam- membaca ‘Bismillahirrahmanirrahim’ di dalam shalatnya, maka beliau menghitungnya sebagai satu ayat, dan ‘Alhamdulillahirabbil’alamin’ dua ayat, dan ‘Iyyakanasta’in’ beliau mengumpulkan lima jarinya.” (Shahih Ibnu Khuzaimah, hadits nomor 493, I/248).
 
أخبرنا أبو طاهر نا أبو بكر نا محمد بن عبد الله بن عبد الحكم أخبرنا أبي و شعيب – يعني ابن الليث – قالا أخبرنا الليث نا خالد ح وحدثنا محمد بن يحيى نا سعيد بن أبي مريم أخبرنا الليث حدثني خالد بن يزيد عن بن أبي هلال عن نعيم المجمر قال : صليت وراء أبي هريرة فقرأ بسم الله الرحمن الرحيم ثم قرأ بأم القرآن حتى بلغ ولا الضالين فقال : آمين وقال الناس : آمين ويقول كلما سجد : الله أكبر وإذا قام من الجلوس قال : الله أكبر ويقول إذا سلم : والذي نفسي بيده إني لأشبهكم صلاة برسول الله صلى الله عليه و سلم جميعها لفظا واحدا
"Menceritakan kepadaku Abu Thahir, menceritakan kepadaku Abu Bakar, menceritakan kepadaku Muhammad bin Abdulloh bin Abdul Hakam, menceritakan kepadaku ayahku dan Syu’aib -yaitu Ibnu Laits- mereka berdua berkata: menceritakan kepadaku Al-Laits, menceritakan kepadaku Khalid, menceritakan kepadaku Muhammad bin Yahya, menceritakan kepadaku Sa’id bin Abi Maryam, menceritakan kepadaku Al-Laits, menceritakan kepadaku Khalid bin Yazid, dari Abi Hilal, dari Nu’aim Al-Majmar berkata: “Aku shalat di belakang Abu Hurairah maka beliau membaca ‘Bismillahirrahmanirrahim’ kemudian membaca Ummul Kitab sampai ‘wa laddhoolliin’, kemudian beliau berkata ‘aamiin’, dan jama’ah berkata ‘aamiin’. Beliau berkata ketika hendak sujud ‘Allahu Akbar’, dan ketika bangun dari duduk ‘Allahu Akbar’. Dan beliau berkata ketika usai salam: ‘Demi Dzat yang jiwaku ada di genggaman-Nya! Sesungguhnya aku telah mencontohkan kepada kalian shalat bersama Rasulullah -shallAllahu ‘alaih wa aalih wa sallam- secara keseluruhan’ dengan satu lafadz.” (Shahih Ibnu Khuzaimah, hadits nomor 499, I/251).
 
 
Basmalah menurut Mazhab Hambali (Imam Ahmad bin Hambal)
 
Menurut Mazhab Hambali, Basmalah merupakan ayat dari Al Fatihah. Adapun cara membacanya adalah dengan samar.
 
وقال الحنابلة: البسملة آية من الفاتحة يجب قراءتها في الصلاة، لكن يقرأ بها سراً، ولا يجهر بها.
Berkata ulama Mazhab Hambali: Basmalah merupakan ayat dari Al Fatihah dan wajib membacanya di dalam shalat, tapi dibaca secara samar, dan tidak dikeraskan atas bacaannya. (Fiqh Islami wa Adillatuhu II/30).
 
Jika kita melihat dari pendapat para Imam Mazhab di atas, kita dapat mengamati bahwa bagaimanapun juga, membaca Basmalah tidak membatalkan shalat. Paling banter hukumnya adalah makruh, sebagaimana pendapat Mazhab Maliki, namun tidak sampai membatalkan shalat. Namun di sisi lain, ada mazhab yang mewajibkan membaca Basmalah, yaitu Mazhab Syafi’i dan Hambali, yang shalat tidak akan sah jika tidak membacanya.
 
Hal ini juga berlaku dalam shalat jama’ah. Jika Imam tidak membaca Basmalah, sedangkan di antara makmum-nya ada yang bermazhab Syafi’i atau Hambali, maka hal ini bisa membatalkan shalat si Makmum. Dengan terpaksa dan tanpa ada pilihan lain, si Makmum mau tidak mau harus mufaroqoh (berpisah dari jama’ah) agar shalatnya bisa sah, tentunya dengan terpaksa pula kehilangan pahala shalat berjama’ah. Jika shalatnya adalah shalat maktubah, mungkin tidak terlalu menjadi masalah karena si makmum bisa mufaroqoh untuk mengerjakan shalat sendiri. Tentunya akan sangat merepotkan jika Imam tidak membaca Basmalah ketika shalat Jumat, karena si Makmum akan kehilangan shalat Jum’at, dan terpaksa shalat Dzuhur sendirian.
 
Dengan menimbang kemaslahatan bersama (win-win solution), saya berpendapat dan mengusulkan bahwa si Imam seharusnya membaca Basmalah, walaupun itu secara samar, agar semua jama’ah bisa sah shalatnya dan sama-sama mendapat pahala shalat berjama’ah.
 
Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat menjadi perhatian para Imam agar bijak dalam menjadi Imam.
 
 
Oleh : Moh. Erwan Hasbulloh Bashiddiq
Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan RI

Kesunnahan Melafadzkan Niat Ketika Akan Memulai Shalat


https://www.facebook.com/notes/kajian-kitab-klasik-pesantren-sunni-salafiyah/kupas-tuntas-kesunnahan-melafadzkan-mengucapkan-niat-ketika-akan-memulai-shalat/121905161154973/

Kupas Tuntas ; Kesunnahan Melafadzkan (Mengucapkan) Niat Ketika Akan Memulai Shalat

Melafadzkan niat sudah masyhur dikalangan masyarakat, hal ini bukan tanpa dasar tapi karena memang memiliki landasan dalam ilmu fiqh. Contoh melafadzkan niat adalah membaca “ushulli fardhush shubhi rak’atayni mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala”, hal semacam ini biasa dibaca oleh kalangan Muslimin (terutama di Indonesia) sebelum Takbiratul Ihram artinya dibaca sebelum melaksanakan shalat, tidak bersamaan dengan shalat dan bukan bagian dari rukun shalat.
Seperti yang sudah diketahui bahwa permulaan shalat adalah niat dan takbiratul ihram dilakukan bersamaan dengan niat. Niat tidak mendahului takbir (Takbiratul Ihram) dan tidak pula sesudah takbir. Sebagaimana dikatakan oleh al-Imam asy-Syafi’I dalam kitab Al-Umm Juz 1, pada Bab Niat pada Shalat (باب النية في الصلاة ) ;
قال الشافع: والنية لا تقوم مقام التكبير ولا تجزيه النية إلا أن تكون مع التكبير لا تتقدم التكبير ولا تكون بعده
“..niat tidak bisa menggantikan takbir, dan niat tiada memadai selain bersamaan dengan Takbir, niat tidak mendahului takbir dan tidak (pula) sesudah Takbir.”
Sekali lagi, niat itu bersamaan dengan Takbir. Hal senada juga dinyatakan oleh al-‘Allamah asy-Syaikh Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al-Malibariy asy-Syafi’i dalam Fathul Mu’in Hal 16 ;
. (مقرونا به) أي بالتكبير، (النية) لان التكبير أول أركان الصلاة فتجب مقارنتها به،
“..Takbiratul ihram harus dilakukan bersamaan dengan niat (shalat), karena takbir adl rukun shalat yang awal, maka wajib bersamaan dengan niat”
Al-Imam An-Nawawi, didalam Kitab Raudhatut Thalibin, pada fashal (فصل في النية يجب مقارنتها التكبير)
يجب أن يبتدىء النية بالقلب مع ابتداء التكبير باللسان
“diwajibkan memulai niat dengan hati bersamaan dengan takbir dengan lisan”
Al-Qadhi Abu al-Hasan al-Mahamiliy, didalam kitab Al-Lubab fi al-Fiqh asy-Syafi'i, pada pembahasan (باب فرائض الصلاة) ;
النية، والتكبير، ومقارنة النية للتكبير
"Niat dan Takbir, niat bersamaan dengan takbir"
Asy-Syekh Abu Ishaq asy-Syairaziy, didalam Tanbih fi Fiqh Asy-Syafi'i (1/30) :
وتكون النية مقارنة للتكبير لا يجزئه غيره والتكبير أن يقول ألله أكبر أو الله الأكبر لا يجزئه غير ذلك
"dan adanya niat bersamaan dengan takbir, tidak cukup selain itu. dan takbir yaitu mengucapkan (ألله أكبر) atau ( الله الأكبر), selain yang demikian tidaklah cukup (bukan takbir)."
Jadi, shalat telah dinyatakan mulai manakala sudah takbiratul Ihram yg sekaligus bersamaan dengan niat (antara niat dan takbir adalah bersamaan). Aktifitas atau ucapan apapun sebelum itu, bukanlah masuk dalam rukun shalat, demikian juga dengan melafadzkan niat, bukan masuk dalam bagian dari (rukun) shalat.
Didalam melakukan niat shalat fardlu, diwajibkan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut ;
- Qashdul fi’li (قصد فعل) yaitu menyengaja mengerjakannya, lafadznya seperti (أصلي /ushalli/”aku menyengaja”)
- Ta’yin (التعيين) maksudnya adalah menentukan jenis shalat, seperti Dhuhur atau Asar atau Maghrib atau Isya atau Shubuh.
- Fardliyah (الفرضية) maksudnya adala menyatakan kefardhuan shalat tersebut, jika memang shalat fardhu. Adapun jika bukan shalat fardhu (shalat sunnah) maka tidak perlu Fardliyah (الفرضية).
Jadi berniat, semisal (ﺍﺼﻠﻰ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﺃﺩﺍﺀ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﻠﻰ/”Sengaja aku shalat fardhu dhuhur karena Allah”) saja sudah cukup.
Sekali lagi, niat tersebut dilakukan bersamaan dengan Takbiratul Ihram. Yang dinamakan “bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah (ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ) mengadung pengertian sebagai berikut (Fathul Mu’in Bisyarhi Qurratu ‘Ayn),
. وفي قول صححه الرافعي، يكفي قرنها بأوله
“Menurut pendapat (qoul) yang telah dishahihkan oleh Al-Imam Ar-Rafi’i. bahwa cukup dicamkan bersamaan pada awal Takbir”.
وفي المجموع والتنقيح المختار ما اختاره الامام والغزالي: أنه يكفي فيها المقارنة العرفية عند العوام بحيث يعد مستحضرا للصلاة
“Didalam kitab Al-Majmu dan Tanqihul Mukhtar yang telah di pilih oleh Al-Imam Ghazali, bahwa “bersamaan” itu cukup dengan kebiasaan umum (‘Urfiyyah/ العرفية), sekiranya (menurut kebiasaan umum) itu sudah bisa disebut mencamkan shalat (al-Istihdar al-‘Urfiyyah)”
Imam Al-Ibnu Rif’ah dan A-Imam As-Subki membenarkan pernyataan diatas, dan Al-Imam As-Subki mengingatkan bahwa yang tidak menganggap/menyakini bahwa praktek seperti atas (Muqaranah Urfiyyah ( ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﻋﺭﻓﻴﻪ )) tidak cukup menurut kebiasaan), maka ia telah terjerumus kepada kewas-wasan.
Pada dasarnya “bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah (ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ) adalah berniat yang bersamaan dengan takbiratul Ihram mulai dari awal takbir sampai selesai mengucapkannya, artinya keseluruhan takbir, inilah yang dinamakan Muqaranah Haqiqah ( ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﺣﻘﻴﻘﺔ ).
Namun, jika hanya dilakukan pada awalnya saja atau akhir dari bagian takbir maka itu sudah cukup dengan syarat harus yakin bahwa yang demikian menurut kebiasaan (Urfiyyah) sudah bisa dinamakan bersamaan, inilah yang dinamakan Muqaranah Urfiyyah ( ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﻋﺭﻓﻴﻪ ).
Menurut pendapat Imam Madzhab selain Imam Syafi’i, diperbolehkan mendahulukan niat atas takbiratul Ihram dalam selang waktu yang sangat pendek.
Tempatnya niat adalah di dalam hati. Sebagaimana diterangkan dalam Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, pada pembahasan فرائض الصلاة
ومحلها القلب لا تعلق بها باللسان أصلا
“niat tempatnya didalam hati, pada asalnya tidak terikat dengan lisan”
Al-Allamah Al-Imam An-Nawawi, dalam kitab Al-Majmu' (II/43) :
فإن نوى بقلبه دون لسانه أجزأه
“sesungguhnya niat dengan hati tanpa lisan sudah cukup,
Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafi’i, didalam Kitab Fathul Qarib, pada pembahasan Ahkamush Shalat ;
النِّيَةُ) وَ هِيَ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ وَ مُحَلُّهَا اْلقَلْبُ
“niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya dan tempat niat itu berada di dalam hati.”
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, didalam Kifayatul Ahyar, pada bab (باب أركان الصلاة)]
واعلم أن النية في جميع العبادات معتبرة بالقلب فلا يكفي نطق للسان
“Ketahuilah bahwa niat dalam semua ibadah menimbang dengan hati maka tidak cukup hanya dengan melafadzkan dengan lisan”
Demikian juga dikatakan dalam kitab yang sama (Kifayatul Akhyar) pada bab باب فرائض الصوم
لا يصح الصوم إلا بالنية للخبر، ومحلها القلب، ولا يشترط النطق بها بلا خلاف
Tidak sah puasa kecuali dengan niat, berdasarkan khabar (hadits shahih), tempatnya niat didalam hati, dan tidak syaratkan mengucapkannya tanpa ada khilaf”
Keterangan : pada bab Fardhu Puasa ini, mengucapkan niat tidak disyaratkan artinya bukan merupakan syarat dari puasa. Dengan demikian tanpa mengucapkan niat, puasa tetap sah. Demikian juga dengan shalat, melafadzkan (mengucapkan) niat shalat bukan merupakan syarat dari shalat, bukan bagian dari fardhu shalat (rukun shalat). Jadi, baik melafadzkan niat (talaffudz binniyah) maupun tidak, sama sekali tidak menjadikan shalat tidak sah, tidak pula mengurangi atau menambah-nambah rukun shalat.
Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, didalam Tuhfatul Muhtaj (تحفة المحتاج بشرح المنهاج) [II/12] :
والنية بالقلب
"dan niat dengan hati"
Al-Hujjatul Islam Al-'Allamah Al-Faqih Al-Imam Al-Ghazaliy, didalam kitab Al-Wajiz fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi'i, Juz I, Kitabus Shalat pada al-Bab ar-Rabi' fi Kaifiyatis Shalat ;
"niat dengan hati dan bukan dengan lisan"
Semua keterangan diatas hanya menyatakan bahwa niat tempatnya didalam hati (tidak ada cap bid’ah), niat amalan hati atau niat dengan hati. Demikian juga dengan niat shalat adalah didalam hati, sedangkan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) bukanlah merupakan niat, bukan pula aktifitas hati (bukan amalan hati) namun aktifitas yang dilakukan oleh lisan. Niat dimaksudkan untuk menentukan sesuatu aktifitas yang akan dilakukan, niat dalam shalat dimaksudkan untuk menentukan shalat yang akan dilakukan. Dengan kata lain, niat adalah memaksudkannya sesuatu. Ibnu Manzur dalam kitabnya yang terkenal yaitu Lisanul ‘Arab (15/347) berkata ;
" Meniatkan sesuatu artinya memaksudkannya dan meyakininya. Niat adalah arah yang dituju”.
Sebagaimana juga dikatakan didalam kitab Fathul Qarib :
وَ هِيَ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ
“niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya”
Al-Fiqh al-Manhaji 'ala Madzhab Al-Imam asy-Syafi'i, pada pembahasan Arkanush Shalat ;
وهي قصد الشيء مقترناً بأول أجزاء فعله، ومحلها القلب. ودليلها قول النبي"إنما الأعمال بالنيات"
"(Niat), adalah menyengaja (memaksudkan) sesuatu bersamaan dengan sebagian dari perbuatan, tempatnya didalam hati. dalilnya sabda Nabi SAW ; ("إنما الأعمال بالنيات")"
Al-'Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (السراج الوهاج على متن المنهاج)
وهي شرعا قصد الشيء مقترنا بفعله وأما لغة فالقصد
"(niat) menurut syara' adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan perbuatan, dan menurut lughah adl menyengaja"
Maka, selagi lagi kami perjelas. Niat adalah amalan hati, niat shalat dilakukan bersamaan dengan takbiratul Ihram, merupakan bagian dari shalat (rukun shalat), adapun melafadzkan niat (mengucapkan niat) adalah amalan lisan (aktifitas lisan), yang hanya dilakukan sebelum takbiratul Ihram, artinya dilakukan sebelum masuk dalam bagian shalat (rukun shalat) dan bukan merupakan bagian dari rukun shalat. Niat shalat tidak sama dengan melafadzkan niat.
Melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) hukumnya sunnah. Kesunnahan ini diqiyaskan dengan melafadzkan niat Haji, sebagaimana Rasulullah dalam beberapa kesempatan melafadzkan niat yaitu pada ibadah Haji.
عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا (رواه مسلم)
“Dari sahabat Anas ra berkata : “Saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan “Aku memenuhi panggilan-Mu (Ya Allah) untuk (mengerjakan) umrah dan haji” (HR. Imam Muslim)
Dalam buku Fiqh As-Sunnah I halaman 551 Sayyid Sabiq menuliskan bahwa salah seorang Sahabat mendengar Rasulullah SAW mengucapkan (نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ اَوْ نَوَيْتُ الْحَجَّ) “Saya niat mengerjakan ibadah Umrah atau Saya niat mengerjakan ibadah Haji”
أنه سمعه صلى الله عليه وسلم يقول : " نويت العمرة ، أو نويت الحج
Memang, ketika Rasulullah SAW melafadzkan niat itu ketika menjalankan ibadah haji, namun ibadah lainnya juga bisa diqiyaskan dengan hal ini, demikian juga kesunnahan melafadzkan niat pada shalat juga diqiyaskan dengan pelafadzan niat dalam ibadah haji. Hadits tersebut merupakan salah satu landasan dari Talaffudz binniyah.
Hal ini, sebagaimana juga dikatakan oleh al-‘Allamah al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami (ابن حجر الهيتمي ) didalam Kitab Tuhfatul Muhtaj (II/12) ;
(ويندب النطق) بالمنوي (قبيل التكبير) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجبه وإن شذ وقياسا على ما يأتي في الحج
“Dan disunnahkan melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syad ( menyimpang), dan Kesunnahan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafadzan dalam niat haji
Qiyas juga menjadi dasar dalam ilmu Fiqh,
Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz didalam Fathul Mu'in Hal. 1 :
واستمداده من الكتاب والسنة والاجماع والقياس.
Ilmu Fiqh dasarnya adalah kitab Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Al-Imam Nashirus Sunnah Asy-Syafi'i, didalam kitab beliau Ar-Risalah الرسالة :
أن ليس لأحد أبدا أن يقول في شيء حل ولا حرم إلا من جهة العلم وجهة العلم الخبر في الكتاب أو السنة أو الأجماع أو القياس
..selamanya tidak boleh seseorang mengatakan dalam hukum baik halal maupun haram kecuali ada pengetahuan tentang itu, pengetahuan itu adalah al-Kitab (al-Qur'an), as-Sunnah, Ijma; dan Qiyas.”
قلت لو كان القياس نص كتاب أو سنة قيل في كل ما كان نص كتاب هذا حكم الله وفي كل ما كان نص السنة هذا حكم رسول الله ولم نقل له قياس
Aku (Imam Syafi'i berkata), jikalau Qiyas itu berupa nas Al-Qur'an dan As-Sunnah, dikatakan setiap perkara ada nasnya didalam Al-Qur'an maka itu hukum Allah (al-Qur'an), jika ada nasnya didalam as-Sunnah maka itu hukum Rasul (sunnah Rasul), dan kami tidak menamakan itu sebagai Qiyas (jika sudah ada hukumnya didalam al-Qur'an dan Sunnah).
Maksud perkataan Imam Syafi'i adalah dinamakan qiyas jika memang tidak ditemukan dalilnya dalam al-Qur'an dan As-Sunnah. Jika ada dalilnya didalam al-Qur'an dan as-Sunnah, maka itu bukanlah Qiyas. Bukankah Ijtihad itu dilakukan ketika tidak ditemukan hukumnya/dalilnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah ?
Jadi, melafadzkan niat shalat yang dilakukan sebelum takbiratul Ihram adalah amalan sunnah dengan diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan niat haji oleh Rasulullah SAW. Sunnah dalam pengertian ilmu fiqh, adalah apabila dikerjakan mendapat pahala namun apabila ditinggalkan tidak apa-apa. Tanpa melafadzkan niat, shalat tetaplah sah dan melafadzkan niat tidak merusak terhadap sahnya shalat dan tidak juga termasuk menambah-nambah rukun shalat.
Ulama Syafi’iyyah & ulama lainnya yang mensunnahkan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) adalah sebagai berikut ;
Al-Allamah asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (Ulama Madzhab Syafi’iiyah), dalam kitab Fathul Mu’in bi syarkhi Qurratul 'Ain bimuhimmati ad-Din, Hal. 16 ;
. (و) سن (نطق بمنوي) قبل التكبير، ليساعد اللسان القلب، وخروجا من خلاف من أوجبه.
“Disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbiratul ihram, agar lisan dapat membantu hati (kekhusuan hati), dan karena mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.”
Al-Imam Muhammad bin Abi al-'Abbas Ar-Ramli/Imam Ramli terkenal dengan sebutan "Syafi'i Kecil" [الرملي الشهير بالشافعي الصغير] dalam kitab Nihayatul Muhtaj (نهاية المحتاج), juz I : 437 :
وَيُنْدَبُ النُّطْقُ بِالمَنْوِيْ قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ القَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنِ الوِسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ مِنْ
خِلاَفِ مَنْ أَوْجَبَهُ
“Disunnahkan (mandub) melafadzkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapt membantu hati (kekhusuan hati), agar terhindar dari gangguan hati (was-was) dan karena mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya”.
Asy-Syeikhul Islam al-Imam al-Hafidz Abu Yahya Zakaria Al-Anshariy (Ulama Madzhab Syafi'iyah) dalam kitab Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab (فتح الوهاب بشرح منهج الطلاب) [I/38] :
( ونطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب
"(Disunnahkan) mengucapkan niat sebelum Takbir (takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati.."
Diperjelas (dilanjutkan) kembali dalam Kitab Syarah Fathul Wahab yaitu Hasyiyah Jamal Ala Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab, karangan Al-'Allamah Asy-Syeikh Sulaiman Al-Jamal ;
وَعِبَارَةُ شَرْحِ م ر لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ الْوَسْوَاسِ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ انْتَهَتْ
"dan sebuah penjelasan, agar lisan lisan dapat membantu hati, terhindar dari was-was, dan untuk mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya. selesai"
Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbainiy, didalam kitab Mughniy Al Muhtaj ilaa Ma'rifati Ma'aaniy Alfaadz Al Minhaj (1/150) ;
( ويندب النطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس
"Disunnnahkan mengucapkan niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan sesungguhnya untuk menghindari kewas-was-was-an (gangguan hati)"
Al-'Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (السراج الوهاج على متن المنهاج) pada pembahasan tentang Shalat ;
ويندب النطق قبيل التكبير
ليساعد اللسان القلب
"dan disunnahkan mengucapkan (niat) sebelum takbiratul Ihram, agar lisan dapat membantu hati"
Al-‘Allamah Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathiy, dalam kitab I’anatut Thalibin (إعانة الطالبين) [I/153] ;
(قوله: وسن نطق بمنوي) أي ولا يجب، فلو نوى الظهر بقلبه وجرى على لسانه العصر لم يضر، إذ العبرة بما في القلب. (قوله: ليساعد اللسان القلب) أي ولانه أبعد من الوسواس. وقوله: وخروجا من خلاف من أوجبه أي النطق بالمنوي
“[disunnahkan melafadzkan niat] maksudnya (melafadzkan niat) tidak wajib, maka apabila dengan hatinya berniat shalat dzuhur namun lisannya mengucapkan shalat asar, maka tidak masalah, yang dianggap adalah didalam hati. [agar lisan membantu hati] maksudnya adalah terhindari dari was-was. [mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkan] maksudnya dengan (ulama yang mewajibkan) melafadzkan niat.”
Al-‘Allamah Asy-Syekh Jalaluddin Al-Mahalli, di dalam kitab Syarah Mahalli Ala Minhaj Thalibin (شرح العلامة جلال الدين المحلي على منهاج الطالبين) Juz I (163) :
(وَيُنْدَبُ النُّطْقُ) بِالْمَنْوِيِّ (قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ
“dan disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbir (takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati””
Didalam Kitab Matan Al-Minhaj lisyaikhil Islam Zakariyya Al-Anshariy fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i :
"(disunnahkan) melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum Takbir (takbiratul Ihram)"
Kitab Safinatun Naja, Asy-Syaikh Al-‘Alim Al-Fadlil Salim bin Samiyr Al-Hadlramiy ‘alaa Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i ;
النية : قصد الشيء مقترنا بفعله ، ومحلها القلب والتلفظ بها سنة
"Niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan pekerjaannya, adapun tempatnya niat didalam hati sedangkan mengucapkan dengan lisan itu sunnah"
Didalam kitab Niyatuz Zain Syarh Qarratu 'Ain, Al-'Allamah Al-'Alim Al-Fadil Asy-Syekh An-Nawawi Ats-Tsaniy (Sayyid Ulama Hijaz) ;
أما التلفظ بالمنوي فسنة ليساعد اللسان القلب
"adapun melafadzkan niat maka itu sunna supaya lisan dapat membantu hati"
Kitab Faidlul Haja 'alaa Nailur Roja, Al-'Alim Ahmad Sahal bin Abi Hasyim Muhammad Mahfudz Salam Al-Hajiniy ;
قوله واللفظ سنة) اللفظ بمعنى التلفظ مصدر لفظ يلفظ من باب ضرب يضرب أى والتلفظ بها أى بالنية سنة فى جميع الأبواب كما قاله حج خروجا من خلاف موجبه
" melafadzkan (niat) itu sunnah.."
Kitab Minhajut Thullab, Al-Imam Zakariyya Al-Anshariy ,
وسن نية نفل فيه وإضافة لله ونطق قبيل التكبير وصح أداء بنية وقضاء وعكسه لعذر وتكبير تحرم مقرونا به النية
"...(sunnah) mengucapkan (niat) sebelum takbir..."
Minhaj Ath-Thalibin wa Umdat Al-Muftin, Al-Imam An-Nawawi,
والنية بالقلب ويندب النطق قبل التكبير
"niat didalam hati dan sunnah melafadzkan/mengucapkan niat sebelum takbir"
Al-'Allamah Asy-Syekh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, didalam kitab Minhajul Qawim (1/191) ;
فصل في سنن الصلاة وهي كثيرة ( و ) منها أنه ( يسن التلفظ بالنية ) السابقة فرضها ونفلها ( قبيل التكبير ) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجب ذلك
"Fashal didalam menerangkan sunnah-sunnah shalat, dan sunnah shalat itu banyak, diantaranya adalah disunnahkan melafadzkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati dan untuk keluar (menghindari) khilaf ulama yang mewajibkannya"
Al-'Allamah Asy-Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairamiy Asy-Syafi'i, Tuhfatul habib ala syarhil khotib(1/192), Darul Kutub Ilmiyah, Beirut - Lebanon ;
قوله : ( ومحلها القلب ) نعم يسن التلفظ بها في جميع الأبواب خروجاً من خلاف من أوجبه
"qouluhu (tempatnya niat didalam hati), memang disunnahkan talaffudz biha (melafadzkan niat) didalam semua bab-bab untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya"
Al-'Allamah Al-Imam Muhammad Asy-Syarbiniy Al-Khatib, didalam kitab Al-Iqna' Fiy Alfaadh Abi Syuja', pada pembahasan "Arkanush shalah" ;
ويندب النطق بالمنوي قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس
"dan disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati, dan karena sesungguhnya menjauhi dari was-was"
Didalam kitab Al-Wafi Syarah Arba'in An-Nawawi, Asy-Syekh Musthafa Al-Bugha & Asy-Syekh Muhyiddin Misthu, telah menjelaskan tentang hadits No.1,
ومحل النية القلب؛ فل يشترط التلفظ بها؛ ولكن يستحب ليساعد اللسان القلب على استحضارها
"dan tempat niat dalam hati, tiada disyaratkan melafadzkannya, dan tetapi disunnahkan (melafadzkan) agar lisan dapat membantu hati dengan menghadirkan niat"
Didalam kitab Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah (Syarah) 'alaa Al-Adzkar An-Nawawiyah (1/54), Asy-Syekh Muhammad Ibnu 'Alan Ash-Shadiqiy mengatakan,
نعم يسن النطق بها ليساعد اللسان القلب ولأنه صلى الله عليه وآله وسلم نطق بها في الحج فقسنا عليه سائر العبادات وعدم وروده لا يدل على عدم وقوعه
"Iya, sunnah mengucapkan niat agar lisan dapat membantu hati, dan karena sesungguhnya Nabi mengucapkan niat dalam ibadah haji, maka diqiyaskan kepadanya dalam seluruh Ibadah, dan ketiadaan yang meriwayatkannya tidak menunjukkan atas ketiadaannya dan terjadinya"
Redaksi melafadzkan niat dari Imam Syafi'i, di riwayatkan dari Al-Hafidz Al-Imam Ibnu Muqri' didalam kitab Mu'jam beliau (336) :
أخبرنا ابن خزيمة حدثنا الربيع قال كان الشافعي إذا أراد أن يدخل في الصلاة، قال: بسم الله، موجها لبيت الله، مؤديا لفرض الله، الله أكبر
"Mengabarkan kepadaku Ibnu Khuzaimah, mengabarkan kepadaku Ar-Rabi' berkata, Imam Syafi'i ketika akan masuk dalam Shalat berkata,
(بسم الله، موجها لبيت الله، مؤديا لفرض الله، الله أكبر)"
Hawasyi Asy-Syarwaniy (1/240) ;
قوله: (سنن كثيرة) منها تقديم النية مع أول السنن المتقدمة على غسل الوجه فيحصل له ثوابها كما مر ومنها التلفظ بالمنوي ليساعد اللسان القلب
"disunnahkan melafadzkan niat agar lisan dapat membantu hati"
Tujuan dari melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) sebagaimana dijelaskan diatas adalah agar lisan dapat membantu hati yaitu membantu kekhusuan hati, menjauhkan dari was-was (gangguan hati), serta untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya, itu karena menghindar dari khilaf ulama hukumnya hukumnya adalah sunnah. Selain itu lafadz niat adalah hanya demi ta’kid yaitu penguat apa yang diniatkan.
Berkata shohibul Mughniy : Lafdh bimaa nawaahu kaana ta’kiidan (Lafadz dari apa apa yg diniatkan itu adalah demi penguat niat saja) (Al Mughniy Juz 1 hal 278), demikian pula dijelaskan pd Syarh Imam Al Baijuri Juz 1 hal 217 bahwa lafadh niat bukan wajib, ia hanyalah untuk membantu saja.
Imam Al-Bahuuti (Ulama Hanabilah) berkata dalam Syarah Muntaha Al-Iradat ;
باب النية لغة : القصد ، يقال : نواك الله بخير ، أي قصدك به ، ومحلها : القلب ، فتجزئ وإن لم يتلفظ .
ولا يضر سبق لسانه بغير قصده وتلفظه بما نواه تأكيد
".. dan melafadzkannya dengan apa yang diniatkan adalah penguat (ta'kid)"
Dan sungguh begitu indahnya kata-kata ulama, mereka sebisa mungkin menghindari perselisihan bahkan dalam perkara yang seperti ini, tidak seperti saat ini, sebagian kelompok kecil ada yang beramal ASBED (asal beda), selalu mengangkat perkara khilafiyah dan begitu mudah mulut mereka membuat tuduhan bid’ah terhadap pendapat yang lainnya. Padahal dengan kata lain, tuduhan bid’ah yang mereka lontarkan, hakikatnya telah menghujat ulama dan menuduh ulama-ulama Madzhab yang telah mensunnahkannya.
Kesunnahan melafadzkan niat dari ulama Syafi’iiyah juga dapat dirujuk pada pendapat dalam kitab ulama syafi’iiyah lainnya maupun kitab-kitab ulama madzhab yang lainnya.
Melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) juga merupakan ucapan yang baik, bukan ucapan yang buruk, kotor maupun tercela. Sebagai sebuah perkataan yang baik maka tentunya diridhoi oleh Allah Subhanahu wa ta’alaa dan Allah senang dengan perkataan yang baik. Dengan demikian ucapan yang terlontar dari lisan seorang hamba akan dicatat oleh malaikat sebagai amal bagi hamba tersebut.
Allah berfirman ;
مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. al-Qaaf 50 : 18)
مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعاً إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
‘Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” (QS. al-Fathir 35 : 10)
Maka demikian, melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) sebagai sebuah ucapan yang baik, juga memiliki nilai pahala sendiri disisi Allah berdasarkan ayat al-Qur’an diatas.
Didalam madzhab lainnya selain madzhab Syafi’iiyah juga mensunnahkan melafadzkan niat, misalnya ; Mazhab Hanafi (Ulama Hanafiyah) berpendapat bahwa niat sholat adalah bermaksud untuk melaksanakan shalat karena Allah dan letaknya dalam hati, namun tidak disyaratkan melafadhkannya dengan lisan. Adapun melafadhkan niat dengan lisan sunnah hukumnya, sebagai pembantu kesempurnaan niat dalam hati. Dan menentukan jenis sholat dalam niat adalah lebih afdlal. [al-Badai’ I/127. Ad-Durru al-Muhtar I/406. Fathu al-Qadir I/185 dan al-lubab I/66]
Mazhab Hanbali (Ulama Hanabilah) berpendapat bahwa niat adalah bermaksud untuk melakukan ibadah, yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Shalat tidak sah tanpa niat, letaknya dalam hati, dan sunnah melafadzkan dengan lisan, disyaratkan pula menentukan jenis sholat serta tujuan mengerjakannya. [al-Mughny I/464-469, dan II/231. Kasy-Syaaf al-Qona’ I364-370]
Mazhab Maliki (Ulama Malikiyah) berpendapat bahwa niat adalah bermaksud untuk melaksanakan sesuatu dan letaknya dalam hati. Niat dalam sholat adalah syarat sahnya sholat, dan sebaiknya tidak melafadzkan niat, agar hilang keragu-raguannya. Niat sholat wajib bersama Takbiratul Ihram, dan wajib menentukan jenis sholat yang dilakukan [asy-Syarhu ash-Shaghir wa-Hasyiyah ash-Shawy I/303-305, al-Syarhu al-Kabir ma’ad-Dasuqy I/233 dan 520]
Misalnya dari Kalangan Malikiyah, Al-Imam Al-'Allamah Ad-Dardir rahimahullah ta'alaa didalam Syarh Al-Kabir,
قال العلامة الدردير رحمه الله تعالى في الشرح الكبير ( ولفظه ) أي تلفظ المصلي بما يفيد النية كأن يقول نويت صلاة فرض الظهر مثلا ( واسع ) أي جائز بمعنى خلاف الأولى . والأولى أن لا يتلفظ لأن النية محلها القلب ولا مدخل للسان فيها
..dan melafadzkan niat yaitu seorang mushalli melafadzkan niat dimana dia mengatakan seumpama (نويت صلاة فرض الظهر) adalah wasi'/luas maksudnya boleh (جائز) bimakna khilaful Aula..
Ulama Maliki lainnya, Al-Imam Ad-Dasuqiy Al-Maliki rahimahullah didalam kitab Hasyiyahnya 'alaa Syarh Al-Kabir berkata,
قال الدسوقي رحمه الله تعالى في حاشيته على الشرح الكبير : لكن يستثنى منه الموسوس فإنه يستحب له التلفظ بما يفيد النية ليذهب عنه اللبس كما في المواق وهذا الحل الذي حل به شارحنا وهو أن معنى واسع أنه خلاف الأولى
dan tetapi dikecualikan bagi orang yang was-was maka sesungguhnya baginya di sunnahkan melafadzkan niat..
DR. Wahbah Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islam I/767 : "Disunnatkan melafadzkan niat menurut jumhur selain madzab maliki." Didalam kitab yang sama juga diterangkan mengenai pendapat madzhab Maliki, jilid I/214 bahwa : “Yang utama adalah tidak melafadzkan niat kecuali bagi orang-orang yang berpenyakit was-was, maka disunnatkan baginya agar hilang daripadanya keragu-raguan".
Hal-Hal Yang Berkaitan :
[-]. Perihal Hadits (إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى), “Sesungguhnya amalan-amalan itu dikerjakan dengan niat, dan bagi setiap orang apa yang dia niatkan” [Arba’in an-Nawawi, hadits pertama (متفق عليه)]
Hadits ini sama sekali tidak berbicara bahwa melafadzkan niat adalah bid’ah, namun mengenai niat sebagai syarat sahnya sebuah amal, atau niat sebagai penyempurna sebuah amalan. Sebagaimana shalat juga tidak sah jika tidak disertai dengan niat, sebab niat dalam shalat merupakan bagian dari rukun sholat yang aktifitasnya didalam hati. Berbeda dengan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) dimana aktifitasnya adalah lisan dan bukan merupakan rukun shalat, namun sunnah. Kesunnanan ini (Talaffudz binniyah) baik dikerjakan atau tidak, tidak merusak pada sahnya shalat dan tidak juga menjadikan shalat batal.
Didalam kitab syarahnya pun yaitu dalam kitab Al-Wafi Syarah Arba'in An-Nawawi, telah menjelaskan tentang hadits No.1,
ومحل النية القلب؛ فل يشترط التلفظ بها؛ ولكن يستحب ليساعد اللسان القلب على استحضارها
"dan tempat niat dalam hati, tiada disyaratkan melafadzkannya, dan tetapi disunnahkan (melafadzkan) agar lisan dapat membantu hati dengan menghadirkan niat"
[-]. Perihal Jawaban Imam Ahmad : Abu Dawud As-Sijistany , penulis kitab As-Sunan pernah bertanya kepada Imam Ahmad, "Apakah seorang yang mau melaksanakan Sholat mengucapkan sesuatu sebelum takbir?" Jawab beliau, " tidak usah". [Lihat Masa'il Abi Dawud (hal.31)]
Dalam Masa’il Abi Daud diatas, Imam Ahmad tidak membid’ahkan, beliau hanya mengatakan tidak usah. Sedangkan kalangan Madzhab Hanabilah sendiri mensunnahkan melafadzkan nit.
[-] Ada yang mengatakan, "yang didahulukan itu seharusnya adalah sabda Nabi bukan Ulama".
Jawaban : "memang benar, tetapi siapa yang lebih paham mengenai sabda/perbuatan Nabi daripada Ulama ?? Tentu saja yang diikuti adalah ulama yang tepat, yang lebih paham sabda Nabi.
[-] Perihal Ulama Yang Mewajibkan (Melafadzkan niat)
Ini kami anggap penting untuk dijelaskan, agar tidak terjadi salah paham atau disalah pahami untuk menyalah pahamkan pendapat lainnya. Sebagaimana sudah disebutkan diatas, oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haitami (Tuhfatul Muhtaj), Imam Ramli (Nihayatul Muhtaj), Al-'Allamah Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz (Fathul Mu'in) dan yang lainnya, bahwa penetapan hukum sunnah terhadap melafadzkan niat (talaffudz binniyah) juga bermaksud menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.
Perlu diketahui bahwa ulama yang mewajibkan (talaffudz binniyah) juga dinisbatkan kepada madzhab Syafi'iyyah sebab memang masih bermadzhab Syafi'i. Beliau adalah Imam Abu Abdillah az-Zubairiy (أبي عبد الله الزبيري). Beliau mewajibkan melafadzkan niat berdasarkan pemahamannya terhadap perkataan Imam Syafi'i tentang "an-Nuthq (النطق). Menurut pemahaman beliau apa yang dimaksud oleh Imam Syafi'i dengan "an-nuthq (النطق)" adalah melafadzkan niat. Padahal yang dimaksud oleh Imam Syafi'i dengan an-Nuthq (النطق) adalah Takbir (Takbiratul Ihram), menurut Al-Imam Nawawi. Hal ini dijelaskan dalam Kitab Al-Majmu' (II/43) ;
، لأن الشافعي رحمه الله قال في الحج : إذا نوى حجا أو عمرة أجزأ ، وإن لم يتلفظ وليس كالصلاة لا تصح إلا بالنطق
"Karena sesungguhnya Al-Imam asy-Syafi'i berkata didalam (Bab) Haji : "apabila seseorang berniat menunaikan ibadah haji atau umrah dianggap cukup sekalipun ti